Tgl penyerahan
resume : 29 Juli 2017
Nama : Ahmad Jumadi
Utusan : PP. Al-Musthafawiyah
Mata kuliah : -
Dosen : -
Jenis tugas : Refleksi
Tgl materi : -
__________________________________________________________________________
Mengikis Konflik Internal
Dengan
Menambah Wawasan
Dunia ini tak
pernah sepi dari konflik, seakan-akan di setiap penjuru dunia konflik sangat
kerap kali terjadi. Entah itu konflik lintas negara, maupun konflik internal
negara. Entah itu konflik antar agama, maupun konflik internal agama. Diantara
konflik yang dalam pandangan penulis sangat disayangkan adalah konflik internal
antar sesama umat islam, khususnya umat islam yang ada ditanah tercinta
indonesia. Hanya karena beda pandangan, tak sedikit satu kelompok dengan
kelompok lainnya saling menyalahkan, saling mencaci, bahkan lebih parah lagi
sampai berani saling menyesatkan, sungguh sangat ironis sekali. Kelompok yang
suka maulid dan kelompok yang tidak suka maulid saling menyalahkan, kelompok
yang melakukan qunut dan kelompok yang tidak melakukan qunut saling menghujat,
kelompok aspek dan kelompok dospek laksana langit dan bumi, tak pernah bertemu.
Kurang lebih seperti itulah potret konflik internal yang sekarang ini sedang
menjamur ditengah-tengah masyarakat.
Ketika
membaca fenomena yang terjadi, penulis merasa tergelitik untuk sedikit membahas
tentang klasifikasi masalah-masalah agama. Ada masalah agama yang sama sekali
tidak ada ruang untuk berbeda pendapat, sehingga dalam ranah ini boleh mengatakan
salah terhadap orang atau kelompok yang tidak sependapat. Ada pula masalah
agama yang diberikan ruang untuk berbeda pendapat, sehingga dalam ranah ini
tidak boleh saling menyalahkan apalagi saling menyesatkan, akan tetapi yang
ditanamkan dan ditumbuhkan adalah sikap toleransi. Untuk lebih jelasnya tentang
klasifikasi masalah-masalah agama adalah sebagai berikut:
1. Masalah pokok-pokok
agama (ushuluddin) yang telah tetap dengan dalil qoth'i (arah
maknanya sudah pasti, tidak bisa diarahkan pada makna lain), seperti wujudnya
Allah, keesaan-Nya, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dibangkitkan dari kubur
setelah mati dan hal-hal yang serupa lainnya. Dalam kategori ini semua umat
Islam harus sepakat, sama sekali tidak ada ruang untuk berbeda pendapat. Siapa
yang sepakat maka dialah yang tepat, siapa yang tidak sepakat maka dialah yang
kafir dan tersesat. (Lihat Faishol at-Tafriqoh bainal Islam waz Zindiqoh)
2. Sebagain masalah
ushuluddin yang tidak tetap dengan dalil qoth'i, seperti melihat
Allah kelak di akhirat, status makhluknya al-Qur'an, akan keluarnya orang yang
mentauhidkan dari neraka dan hal-hal yang serupa lainnya. Menurut satu pendapat
orang yang menentang kategori ini dihukumi kufur. Diantara ulama yang
mengutarakan pendapat ini adalah Imam Syafi'i. Diantara ashhab Syafi'i ada yang
mengarahkan kata kufur disini kepada kufur hakiki (sebenarnya), ada juga yang
mengarahkan pada kufur nikmat. (Lihat Irsyad al-Fuhul: 260, Kasyaf al-Khofa:
1/65, al-Mughni: 2/417)
3. Masalah furu'iyyah
(cabang) yang status hukumnya telah diketahui oleh seluruh orang (al-ma'lumah
minaddin bidh- dhoruroh), seperti wajibnya shalat lima waktu, haramnya zina
dan hal-hal yang serupa lainnya. Dalam kategori ini semua umat Islam mesti
sepakat, tidak ada ruang untuk berbeda pendapat, siapapun yang menentang maka
akan diberikan label kufur. (Lihat Irsyad al-Fuhul: 261, musthafa al-halabi)
4. Masalah ijtihadiyyah,
yakni masalah-masalah cabang yang ditunjukan oleh dalil yang bersifat dzonni
(arah maknanya tidak pasti, sehingga bisa diarahkan pada makna yang lain).
Karena dalilnya bersifat dzonni maka dalam kategori ini diberikan ruang
untuk berbeda pendapat. Siapapun orangnya (yang sudah mampu berijtihad) dan
pendapat apapun yang ia utarakan tetap dianggap sah, selagi pendapat tersebut
ada landasan dan argumentasinya. Karena diberikan ruang untuk berbeda pendapat
maka antar individu atau antar kelompok tidak boleh saling menyalahkan apalagi saling
menyesatkan dan mengkufurkan manakala tidak sependapat, yang harus dikedepankan
adalah sikap saling menghargai pendapat.
Jika kita
pahami poin keempat ini, maka tidak selayaknya antar individu atau antar
kelompok saling menyalahkan hanya karena beda pandangan dalam masalah ijtihadiyyah.
Akan tetapi sayang seribu sayang, fakta berkata lain, justru fenomena yang
terekam ditengah-tengah masyarakat adalah sifat fanatik, merasa dialah yang
berada dalam istana kebenaran, sedangkan orang lain yang tidak sepandangan
dengannya berada dalam jurang kesalahan. Dalam pandangan penulis menempatkan
sifat fanatik dalam masalah ijtihadiyyah tak beda jauh laksana
menempatkan peci pada lutut.
Jika kita
renungkan, sifat fanatik yang terdapat dalam diri sebagian individu itu sebenarnya
terlahir dari kurangnya wawasan keagamaan, semakin dangkal wawasan keagamaan seseorang
maka semakin mendalam pula sifat fanatiknya, yang akan tumbuh berkembang adalah
sifat mudah meyalahkan pandangan orang lain sekalipun pandangan tersebut benar.
Analogi sederhananya seperti orang yang tahu bahwa 4 itu hanyalah hasil dari
2+2, apabila ada orang lain yang memandang bahwa 4 ini adalah hasil dari 10-6, seketika
pandangan ini akan ia salahkan, begitu juga apabila ada orang lain yang
memandang bahwa 4 ini adalah hasil dari 2x2, pandangan inipun akan serentak ia
salahkan.
Konflik
internal lambat laun akan terkikis pudar dengan cara wawasan yang ada lebih
ditingkatkan. Semakin luas wawasan seseorang maka semakin luas pula sifat arif
dan bijaknya. Teringat seuntai kata yang pernah diutarakan oleh bapak mentri
agama indonesia Dr. H. Lukman Hakim Saifudin ketika pembukaan PKU XI, ia
mengatakan bahwa sifat arif dan bijak itu hanya akan timbul dari orang 'alim,
semakin 'alim seseorang maka ia akan semakin arif dan bijak dalam menanggapi
setiap masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar