KALENDER HIJRIAH

Siapa Cemerlang Pada Permulaan, Cemerlang Pula Pada Kesudahan (Ibn 'Athaillah, Al-Hikam)

Rabu, 16 Agustus 2017

Refleksi 4_Hendy



Nama                          : Hendi Rizaldi
Utusan                         : PP Nurul Al-Bab Cisarua
Tugas                           : Refleksi
Tanggal penyerahan      : 12 Agustus 2017

CINTA DALAM DIAM
Allah tak pernah mengharamkan cinta. Cinta adalah sebuah rasa yang sudah menjadi fitrah bagi setiap umat manusia. Namun, manusia diperintahkan untuk menjaga agar cinta itu tidak lantas menjerumuskannya pada tindakan yang diharamkan-Nya. Cinta haruslah menjadi media untuk mendekat kepada-Nya. Cinta yang seperti apakah yang sekiranya mampu mendekatkan kita kepada Sang Pemberi Cinta? Sebut saja, cinta dalam diam.
Cinta dalam diam menurut Islam adalah cara mencintai yang dirasa paling tepat ketika diri belum mampu terikat dalam sebuah ikatan suci, yaitu pernikahan. Jika belum mampu mencintai dan dicintai dalam ikatan pernikahan, cinta dalam diam merupakan jawaban atas segala kegalauan hati. Bagaimanakah cara memperjuangkan cinta dalam diam?
 “Kini aku tersadar, bahwa sendiri adalah status terbaik sebelum menikah. Kesucian diri, tulusnya cinta, dan besarnya pengorbanan, hanya untuk orang yang sudah dihalalkan bagi kita. Maka sebelum nikah kita harus bersabar dalam kesendirian. Kita padatkan waktu untuk berprestasi. Tak perlu lagi kita galau soal jodoh. Kalau diri kita berkualitas. Jodoh yang berkualitas akan dihadirkan untuk kita,” (Ahmad Rifa’i Rif’an).
Persoalan tidak akan selesai hanya dengan kita mengatakan, “Allah, aku mencintainya.” Lantas, apakah yang menjadi bukti bahwa perasaan itu adalah cinta karena Allah? Ya, sebuah perjuangan. Sebuah perjuangan untuk membangun cintalah yang akan kita lakukan setelah rasa bernama cinta itu hadir. Cinta tak semestinya memaksa diri untuk melupakan, tetapi cinta juga tak boleh memaksa diri untuk memiliki. Perasaan cinta haruslah dikelola agar rasa cinta dapat tumbuh ataupun mengkerut sewajarnya. Memantaskan diri merupakan cara untuk mencintai dalam diam.
“Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya,” (Imam Syafi’i).
Apakah kita sungguh yakin bahwa dialah jodoh kita? Jodoh itu mungkin saja teman kita, atau orang yang baru saja kita temui di suatu tempat, atau seseorang yang dulunya kita ikhlaskan. Jodoh itu bisa saja orang tua atau wali kita yang mencarikan, atau teman kita yang menjodohkan. Bagaimana pun juga, jodoh itu bukan hanya perihal cinta, tetapi juga tentang rencana Allah kepada kita. Bukan cinta yang pada akhirnya membuat kita berjodoh dengan seseorang, tetapi Allah-lah yang menjodohkan. Tentunya, semua telah tertulis dalam Lauful Mahfuzh. Jadi, janganlah kita mencintai seseorang melebihi cinta kita kepada Allah. Cukuplah cinta dalam diam dan serahkan sepenuhnya kepada Allah. Setelah usaha cinta dalam diam ini yang bisa kita lakukan ialah mengikhlaskan semuanya kembali kepada Allah.
Dalam proses mengikhlaskan sembari terus berusaha menjadi seorang muslim/muslimah yang baik, tetap berdoalah kepada Allah yang mengetahui rasa cinta yang dirasakan. “Ya Allah, ampuni aku karena sampai detik ini aku masih menyimpan sebuah rasa cinta kepada salah satu hamba-Mu yang jauh di sana. Ya Allah, jika memang rasa cinta ini membuatku jauh dari-Mu, maka hilangkanlah. Kumohon pertemukan aku dengan orang yang mencintai-Mu di atas segalanya, yang mencintaiku karena-Mu dan yang kucintai karena-Mu. Namun, jika memang rasa cinta ini membuatku mendekat kepada-Mu dan dialah yang Kau tetapkan sebagai jodohku, maka pertemukanlah kami di waktu yang tepat. Di saat kami telah siap, pertemukan kami dalam kesucian cinta-Mu.”
Mencintalah dengan bijak. Tak perlu terlalu berharap terhadap cinta yang dirasa, cukuplah cinta dalam diam. Berdoalah pada Yang Maha Kuasa atas segala pilihan terbaik-Nya. Semoga kita akan mendapatkan pilihan yang benar-benar terbaik dan menjadi pendamping dunia dan akhirat. Wallahualam bisawab.

Resume_Tafsir Tematik_Hendy



Rounded Rectangle: NILAITanggal Penyerahan Resume : 12 Agustus 2017
Nama                                      : Hendi Rizaldi
Utusan                                     : PP Nurul Al-Bab Cisarua
Mata Kuliah                            : Tafsir Tematik
Dosen                                      : KH. Rosyadi
Jenis Tugas                              : Resume
Tanggal Materi                       : 5 Agustus 2017

·         Melaksanakan tugas dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim. Setiap pribadi muslim yang telah baligh dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban untuk mengemban tugas dakwah. Setiap individu dari umat Islam dianggap sebagai penyambung tugas Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam untuk menyampaikan dakwah
·        Berdakwah adalah tugas mulia dalam pandangan Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga dengan dakwah tersebut Allah menyematkan predikat khoiru ummah (sebaik-baik umat) kepada umat Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ﴿١١٠﴾
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
(QS: Ali Imron 110)
Di dalam ayat ini terkandung dua hal : pertama, mulianya umat Islam adalah dengan dakwah. Kedua, tegak dan eksisnya umat Islam adalah dengan menjalankan konsep amar ma’ruf nahi munkar.
·       Apapun profesi dan pekerjaan seorang muslim, tugas dakwah tidak boleh dia tinggalkan. Setiap muslim berkewajiban untuk menyampaikan dakwah sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa dakwah adalah jalan hidup seorang mukmin yang senantiasa mewarnai setiap perilaku dan aktifitasnya.
قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّـهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS:Yusuf : 108)
Dalam ayat diatas, seorang mukmin mengikuti tuntunan Rasulullah atas dasar bashirah yaitu ilmu dan keyakinan. Ini artinya dakwah merupakan tuntutan iman, yang jika seorang mukmin meninggalkan kewajiban dakwah berarti ada masalah dengan keimanannya.
·         Tentang ayat ini Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya; Allah berkata kepada Rasulnya agar memberitahu umat manusia bahwa ini adalah jalannya, tempat berpijak dan sunnahnya, yaitu mendakwahkan tauhid bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan menyeru kepada Allah diatas ilmu dan keyakinan
·         Apakah dakwah hanya kewajiban para ulama dan muballigh saja? Jawabnya tentu tidak, karena dakwah adalah kewajiban atas setiap individu muslim dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Adapun para ulama denagn keilmuan yang dimiliki bertugas menyampaikan dan menjelaskan secara rinci tentang hukum-hukum dan permasalahan seputar agama
·         Di dalam sebuah hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam memerintahkan setiap muslim untuk menghilangkan kemungkaran sesuai dengan kemampuannya :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ , وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإيمَانِ
“Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemunkaran, hendaknya dia merubah dengan tangannya, kalau tidak bisa hendaknya merubah dengan lisannya, kalau tidak bisa maka dengan hatinya, dan yang demikian adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)