![]() |
Refleksi |
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681
KALENDER HIJRIAH
Jumat, 18 Agustus 2017
Rabu, 16 Agustus 2017
Refleksi 4_Hendy
Nama :
Hendi Rizaldi
Utusan :
PP Nurul Al-Bab Cisarua
Tugas :
Refleksi
Tanggal p
enyerahan : 12
Agustus 2017

CINTA DALAM DIAM
Allah tak pernah mengharamkan cinta. Cinta adalah sebuah rasa yang
sudah menjadi fitrah bagi setiap umat manusia. Namun, manusia diperintahkan
untuk menjaga agar cinta itu tidak lantas menjerumuskannya pada tindakan yang
diharamkan-Nya. Cinta haruslah menjadi media untuk mendekat kepada-Nya. Cinta
yang seperti apakah yang sekiranya mampu mendekatkan kita kepada Sang Pemberi Cinta?
Sebut saja, cinta dalam diam.
Cinta dalam diam menurut Islam adalah cara mencintai yang dirasa
paling tepat ketika diri belum mampu terikat dalam sebuah ikatan suci, yaitu
pernikahan. Jika belum mampu mencintai dan dicintai dalam ikatan pernikahan, cinta
dalam diam merupakan jawaban atas segala kegalauan hati. Bagaimanakah cara
memperjuangkan cinta dalam diam?
“Kini aku tersadar, bahwa
sendiri adalah status terbaik sebelum menikah. Kesucian diri, tulusnya cinta,
dan besarnya pengorbanan, hanya untuk orang yang sudah dihalalkan bagi kita.
Maka sebelum nikah kita harus bersabar dalam kesendirian. Kita padatkan waktu
untuk berprestasi. Tak perlu lagi kita galau soal jodoh. Kalau diri kita
berkualitas. Jodoh yang berkualitas akan dihadirkan untuk kita,”
(Ahmad Rifa’i Rif’an).
Persoalan tidak akan selesai hanya dengan kita mengatakan, “Allah,
aku mencintainya.” Lantas, apakah yang menjadi bukti bahwa perasaan itu adalah
cinta karena Allah? Ya, sebuah perjuangan. Sebuah perjuangan untuk membangun
cintalah yang akan kita lakukan setelah rasa bernama cinta itu
hadir. Cinta tak semestinya memaksa diri untuk melupakan, tetapi cinta
juga tak boleh memaksa diri untuk memiliki. Perasaan cinta haruslah dikelola
agar rasa cinta dapat tumbuh ataupun mengkerut sewajarnya. Memantaskan diri
merupakan cara untuk mencintai dalam diam.
“Ketika hatimu terlalu berharap kepada
seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan supaya
kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia.
Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap
kepada-Nya,” (Imam Syafi’i).
Apakah kita sungguh yakin bahwa dialah jodoh
kita? Jodoh itu mungkin saja teman kita, atau orang yang baru saja kita temui
di suatu tempat, atau seseorang yang dulunya kita ikhlaskan. Jodoh itu bisa
saja orang tua atau wali kita yang mencarikan, atau teman kita yang
menjodohkan. Bagaimana pun juga, jodoh itu bukan hanya perihal cinta, tetapi
juga tentang rencana Allah kepada kita. Bukan cinta yang pada akhirnya membuat
kita berjodoh dengan seseorang, tetapi Allah-lah yang menjodohkan. Tentunya,
semua telah tertulis dalam Lauful Mahfuzh. Jadi, janganlah kita mencintai
seseorang melebihi cinta kita kepada Allah. Cukuplah cinta dalam diam dan
serahkan sepenuhnya kepada Allah. Setelah usaha cinta dalam diam ini yang bisa
kita lakukan ialah mengikhlaskan semuanya kembali kepada Allah.
Dalam proses mengikhlaskan sembari terus
berusaha menjadi seorang muslim/muslimah yang baik, tetap berdoalah kepada
Allah yang mengetahui rasa cinta yang dirasakan. “Ya Allah, ampuni aku karena
sampai detik ini aku masih menyimpan sebuah rasa cinta kepada salah satu
hamba-Mu yang jauh di sana. Ya Allah, jika memang rasa cinta ini membuatku jauh
dari-Mu, maka hilangkanlah. Kumohon pertemukan aku dengan orang yang
mencintai-Mu di atas segalanya, yang mencintaiku karena-Mu dan yang kucintai
karena-Mu. Namun, jika memang rasa cinta ini membuatku mendekat kepada-Mu dan
dialah yang Kau tetapkan sebagai jodohku, maka pertemukanlah kami di waktu yang
tepat. Di saat kami telah siap, pertemukan kami dalam kesucian cinta-Mu.”
Mencintalah dengan bijak. Tak perlu terlalu
berharap terhadap cinta yang dirasa, cukuplah cinta dalam diam. Berdoalah pada
Yang Maha Kuasa atas segala pilihan terbaik-Nya. Semoga kita akan mendapatkan
pilihan yang benar-benar terbaik dan menjadi pendamping dunia dan akhirat.
Wallahualam bisawab.
Resume_Tafsir Tematik_Hendy

Nama :
Hendi Rizaldi
Utusan :
PP Nurul Al-Bab Cisarua
Mata Kuliah :
Tafsir Tematik
Dosen :
KH. Rosyadi
Jenis Tugas :
Resume

·
Melaksanakan tugas dakwah adalah kewajiban bagi setiap
muslim. Setiap pribadi muslim yang telah baligh dan berakal, baik laki-laki
maupun perempuan memiliki kewajiban untuk mengemban tugas dakwah. Setiap
individu dari umat Islam dianggap sebagai penyambung tugas Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassallam untuk menyampaikan dakwah
·
Berdakwah
adalah tugas mulia dalam pandangan Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga dengan dakwah tersebut
Allah menyematkan predikat khoiru ummah (sebaik-baik umat) kepada umat Muhammad
Shalallahu
‘Alaihi Wassallam
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ … ﴿١١٠﴾
“Kalian
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
(QS: Ali Imron 110)
(QS: Ali Imron 110)
Di
dalam ayat ini terkandung dua hal : pertama, mulianya umat Islam adalah dengan
dakwah. Kedua, tegak dan eksisnya umat Islam adalah dengan menjalankan konsep
amar ma’ruf
nahi munkar.
· Apapun profesi dan pekerjaan seorang muslim, tugas dakwah tidak
boleh dia tinggalkan. Setiap muslim berkewajiban untuk menyampaikan dakwah
sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa dakwah adalah jalan hidup seorang mukmin yang senantiasa
mewarnai setiap perilaku dan aktifitasnya.
قُلْ
هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ
اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ
اللَّـهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah:
“Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik.” (QS:Yusuf : 108)
Dalam
ayat diatas, seorang mukmin mengikuti tuntunan Rasulullah atas dasar bashirah
yaitu ilmu dan keyakinan. Ini artinya dakwah merupakan tuntutan iman, yang jika
seorang mukmin meninggalkan kewajiban dakwah berarti ada masalah dengan
keimanannya.
·
Tentang ayat
ini Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya; Allah berkata kepada Rasulnya
agar memberitahu umat manusia bahwa ini adalah jalannya, tempat berpijak dan
sunnahnya, yaitu mendakwahkan tauhid bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah
selain Allah dan menyeru kepada Allah diatas ilmu dan keyakinan
·
Apakah dakwah
hanya kewajiban para ulama dan muballigh saja? Jawabnya tentu tidak, karena
dakwah adalah kewajiban atas setiap individu muslim dengan kapasitas dan
kemampuan masing-masing. Adapun para ulama denagn keilmuan yang dimiliki
bertugas menyampaikan dan menjelaskan secara rinci tentang hukum-hukum dan
permasalahan seputar agama
·
Di dalam
sebuah hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam memerintahkan setiap
muslim untuk menghilangkan kemungkaran sesuai dengan kemampuannya :
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ , وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الْإيمَانِ
“Barangsiapa
diantara kalian yang melihat kemunkaran, hendaknya dia merubah dengan
tangannya, kalau tidak bisa hendaknya merubah dengan lisannya, kalau tidak bisa
maka dengan hatinya, dan yang demikian adalah selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim)
Langganan:
Postingan (Atom)